Rabu, 14 Maret 2012

parsudi suparlan

Aneh sekali sebelum subuh di hari ini. Tiba-tiba saya mengambil buku Antropologi Perkotaan yang ditulis almarhum Parsudi Suparlan. Guru saya tercinta, penyulut  api kecil di sudut pikir yang tak hendak saya padamkan. Dulu ketika saya masih kuliah, semakin mengikuti kuliah-kuliah beliau, semakin saya merasa bodoh. Jadi untuk apa saya kuliah?

Siapa Parsudi Suparlan? Berikut ini sedikit ulasan mengenai beliau :
Parsudi Suparlan


Beliau merupakan salah satu guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, jurusan Antropologi  Universitas Indonesia. Lahir di Jakarta, pada 3 April 1938, semasa hidupnya, selain mengajar di UI, beliau juga mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) serta menjadi pemimpin redaksi di Jurnal Polisi Indonesia, yang didirikan pada 1999.

Memiliki kepakaran di bidang Antropologi Perkotaan,Kemiskinan Perkotaan dan multikulturalisme, beliau menyelesaikan Pendidikan S1 Antropologi-nya di Fakultas Sastra UI  pada 1964. Pada 1970 memperoleh kesempatan belajar di University of Illinois, Amerika Serikat, sehingga menyelesaikan master dan doktornya.

Beliau dikenal sebagai dosen yang berwawasan terbuka. Ketika hampir seluruh aktivis berteriak korupsi adalah budaya yang telah mengakar di nadi bangsa, dia membantahnya. Baginya, korupsi bukan budaya asli bangsa melainkan akibat persinggungan dengan budaya luar. Selain itu, beliau juga salah satu penggagas community policing atau polisi yang dekat dengan warga.

Salah satu langkah terbesar dalam hidup beliau adalah saat ia ditunjuk Mabes Polri untuk memimpin tim pakar antropologi, sosiologi, dan psikologi untuk meneliti penyebab konflik antar etnis Madura dengan Melayu Sambas di Sambas, 1999.
Saat itu dengan berani beliau berpendapat, konflik antarkomunitas etnis di Sambas terjadi karena orang Madura yang ada di Sambas atau di Kalbar, umumnya bersifat ingin menang-menangan. Tidak ada patokan aturan yang mereka ikuti. Sementara itu, orang Melayu seperti orang Jawa, lebih nrimo, mengalah. Beliau mengatakan orang Melayu lebih senang hidup rukun damai daripada cari perkara. Orang Madura sekiranya ada persengketaan sedikit, langsung cabut clurit.

Selain meneliti akar etnis, beliau juga memiliki ketertarikan khusus dengan budaya ibukota. Beberapa artikelnya telah diterbitkan antara lain di Jurnal Antropologi Indonesia, dan Badan Perencanaan Kotamadya Jakarta Pusat. Selain itu, sejumlah buku yang ditulisnya yaitu :
·   Kemiskinan di Perkotaan
·  Orang Sakai di Riau : Masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia (Yayasan  Obor 1995)
·  The Javanese Suriname: Ethnicity in ethnically plural society (Arizona State University, 1995)
· Hubungan Antar Suku Bangsa, Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan, diterbitkan oleh YPKIK, 2004
(Disarikan dari berbagai sumber)

Lembar yang saya baca pertama kali adalah lembar halaman isi. Dengan ujung jari saya telusuri tiap kata yang tertulis, sambil mengenang hari per hari Parsudi Suparlan membawa materi itu di kelas. Menyuruh kami mahasiswanya membaca kata per kata, lalu menerangkan panjang lebar. Seakan-akan, bahkan buku yang sudah demikian padat dan jelas itu belum cukup padat belum cukup jelas. Dan memang demikianlah adanya. Semakin saya belajar dan hanyut dalam kata per kata tulisan beliau, semakin saya merasa tidak tahu apa-apa. Jadi untuk apa saya membaca?

Saya kuliah karena saya bodoh dan harus jadi pintar Pak, kata saya dalam hati tadi pagi. Tapi ketika saya sudah merasa pintar karena sudah kuliah, di saat itulah saya jadi orang bodoh, lanjut saya.
Saya membaca karena saya tidak tahu apa-apa Pak, saya teruskan dialog maya saya. Tapi ketika saya merasa tahu karena sudah membaca, di saat itulah saya jadi orang yang tidak tahu apa-apa. Ah, lega sekali bisa mengakui bahwa saya tidak tahu apa-apa..

Saya hanya berhenti di daftar isi. Entah apa jadinya kalau saya lanjutkan membaca. Mungkin saya akan berhenti dari pekerjaan saya lalu menulis tanpa henti, apa saja. Beliau yang dengan isengnya berkata, “Dalam penelitian kita harus berpihak.”, sementara semua buku teks tentang penelitian berkata bahwa peneliti harus obyektif. Lalu tertawa terkekeh-kekeh saat melihat tampang saya yang bengong kebingungan mendengar kata-kata tersebut.
Ah, bahkan setelah beliau meninggal, selalu ada hadiah yang tersisa. Selalu ada sudut pikir yang kosong untuk mengenang beliau dan pemikiran-pemikirannya..


Saya hanya sekian dari banyak murid-murid Parsudi Suparlan yang tetap mengingat beliau. Salah satu tulisan mengenai Parsudi Suparlan yang sering saya baca (ditulis pada 22 Desember 2007) adalah tulisan Bapak Chryshnanda di http://chryshnanda.blogspot.com
Dulu saat menemukan tulisan ini dari googgling, saya meneteskan air mata, tepatnya saat bagian :


Beliau bercita-cita menjadi petani setelah pensiun, ingin menyepi di pedesaan namun sekarang semua itu tinggal kenangan. Yang nampak disudut ruang kerjanya bingkai yang berisi potongan koran gambar bayangan sosok manusia (entah siapa) yang dibawahnya tertulis “ Siapa Guru Bangsa Ini?”. Sang Guru telah pergi menghadap Sang Pencipta, Selamat jalan Prof, Selamat mencapai kebahagiaan yang abadi, karya dan pemikiran profesor akan tetap hidup tumbuh dan berkembang. Pohon dikenal dari buahnya, Parsudi dikenal dari karyanya. :” Ilmuwan menjadi besar bukan karena otaknya, tetapi karena moralnya” kata-kata mutiara Albert Einstein yang dikutip Prof. Parsudi dalam sambutan promosi, Doktor Irawati Harsono. Perjuangan moral Profesor sebagai ilmuwan sejati, sebagai manusia yang humanis dan religius (walaupun tidak nampak secara ritual), telah dibuktikan dalam menjadi saksi akan kebenaran, keadilan, kemanusiaan, membangun dari segala keterbatasan dan kekurangan serta percaya akan kuasa Tuhan. Saya percaya Profesor disayang dan dicintai Sang Khalik, semoga Profesor berbahagia dan mendapatkan tempat yang layak di Sisi Tuhan Yang Maha Kuasa, Amin. 


Parsudi Suparlan adalah seseorang dengan ketulusan hati dan kebesaran jiwa yang luar biasa. Parsudi Suparlan adalah seseorang dengan pemikiran-pemikiran brilian, satu dari sedikit orang yang bisa berfikir dengan hatinya.
Saat ini saya tidak bekerja sebagai akademisi, peneliti, penggiat LSM, atau pekerjaan lain yang seirama dengan Parsudi Suparlan. Tetapi semangat beliau, ajaran-ajaran beliau mengenai keberpihakan, hasrat beliau untuk berbagi, masih  tersimpan rapi di sudut pikir saya. 
"Meskipun bagi Bapak saya hanya titik debu di halaman yang berharap mendapat sedikit ilmu dari Bapak, tidak ada satu-pun kata-kata Bapak yang saya lupakan. Semoga bahagia di sisiNya Pak, aamiin.."
Semoga anak-anak saya, cucu-cucu saya, penerus bangsa ini, memiliki seseorang seperti Parsudi Suparlan..

4 komentar:

  1. mendalam sekali kenangan dan kesan terhadap beliau. Saya jadi ikutan terkesan.

    BalasHapus
  2. beliau memang pribadi yang mengesankan. bahkan dicaci maki oleh beliau saja rasanya menyenangkan, hehehe. salam kenal pendakirewel :)

    BalasHapus
  3. sulit sekali mencari buku Kemiskinan di Perkotaan ini. saya sudah cari di banyak tempat dan toko buku online tapi tidak ada yang available. padahal buku ini sangat penting untuk skripsi saya :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. apa sudah dicoba ke Pusat Kajian Antropologi FISIP UI (puska antrop) d kampus UI Depok? ada di lantai 3 gedung C (kalo belum berubah ya..). minta tolong ke petugas d sana aja, atau ke Jurnal Antropologi jg bisa.. maap terlambat membalas komen ini, saya baru sempat mengakses blog ini lg. goodluck y fangstera, ato jangan2 dah lulus? salam kenal jg ya ^^

      Hapus