Senin, 19 Maret 2012

konflik (bagian pertama)

Anda sedang mengalami konflik?
Atau tidak tahu apa itu konflik?
Saya akan menjabarkan mengenai konflik dari berbagai sudut pandang (dan ‘genre’ mungkin) dalam tulisan berseri, edisi konflik. Dan berikut adalah seri tulisan konflik seri konseptual sebagai bagian pertama, sebagai rujukan ilmiah. 
Selamat membaca! ^^

Hilgard, Atkinson & Atkinson (1998: 200) menjelaskan bahwa konflik merupakan sumber utama dari frustasi. Konflik antara dua motif yang bertentangan menyebabkan salah satu pihak merasa puas sehingga pihak yang lain merasa frustasi. Kebanyakan konflik melibatkan tujuan yang menyenangkan sekaligus tidak menyenangkan (Hilgard, Atkinson & Atkinson, 1998: 201).
Definisi Konflik
Wilmot dan Hocker mengatakan bahwa konflik yaitu sebagai perjuangan yang diekspresikan diantara paling tidak dua pihak yang saling bergantung satu sama lain yang mempersepsikan tujuan yang bertentangan, sumber daya yang terbatas dan adanya hambatan dari pihak lain untuk mencapai tujuan (2001: 41).
Tujuan Konflik
Tujuan konflik sama artinya dengan alasan kenapa kita melakukan atau memiliki konflik dengan pihak lain. Awal mula terjadi konflik adalah karena adanya komunikasi antara satu orang dengan orang lainnya, atau bisa juga antara beberapa orang dengan beberapa orang lainnya. Konflik itu sendiri adalah suatu bentuk komunikasi. Namun perlu digarisbawahi bahwa tidak semua komunikasi yang baik berarti tidak ada konflik atau sebaliknya tidak semua komunikasi yang buruk berujung pada konflik. Konflik ada karena masing-masing pihak yang terlibat dalam suatu komunikasi tersebut memiliki tujuan yang berbeda atau bahkan bertentangan. Tujuan dari konflik menurut Wilmot dan Hocker (2001: 69-94) diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Content (tujuan isi)
Awal dari situasi konflik biasanya terjadi dengan alasan memperebutkan sesuatu yang sifatnya eksternal (atau material, atau kedua-duanya), berada di luar diri individu, yang oleh masing-masing pihak dianggap penting. Hal ini terjadi apabila pihak yang terlibat menginginkan hal yang berbeda.
2. Process (tujuan proses)
Alasan terjadinya konflik pada tujuan model ini adalah proses penyelesaian konflik itu sendiri. Tujuan mengenai proses ini bervariasi dari segi budaya, dimana budaya tertentu sangat berorientasi pada otoritas dan budaya lain mengharapkan kesetaraan.
3. Relational (tujuan relasional)
Tujuan relasional atau tujuan hubungan adalah apabila alasan berkonflik meliputi bagaimana seseorang ingin diperlakukan dalam suatu hubungan dan kadar saling ketergantungan yang diinginkan.
4. Identity atau face-saving
Tujuan identitas adalah bila alasan terjadinya konflik berkaitan dengan adanya ancaman terhadap identitas diri salah satu pihak. Hal tersebut menyebabkan pihak yang terancam identitasnya akan menjadi lebih tidak fleksibel dan cenderung melakukan tindakan destruktif, karena ancaman terhadap identitas ini berarti pula ancaman terhadap self-esteemnya.

Kekuasaan Konflik
Kekuasaan membuat seseorang dapat memberikan pengaruh kepada peristiwa yang penting, melindungi diri secara fisik maupun psikologis, serta memiliki self-esteem yang minimal bagi diri dan orang lain. Setiap hubungan bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat ketergantungan. Saling ketergantungan yang ada dalam sebuah hubungan, menunjukkan kekuasaan yang dimiliki oleh pihak-pihak dalam hubungan tersebut. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa ada perbedaan kekuasaan antara pihak-pihak yang berkonflik (satu sama lainnya).

Perilaku konflik dapat menyorot perbedaan kekuasaan dalam suatu hubungan dan membuat pihak yang terlibat di dalamnya menyadari perbedaan tersebut. Bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam konflik mempersepsikan kekuasaan yang dimiliki atau dimiliki oleh pihak lain akan berpengaruh terhadap interaksi mereka. Dalam konflik interpersonal, persepsi pihak yang berkonflik mengenai kekuasaan menentukan hasil dari konflik.
Menurut Wilmot dan Hocker (2001: 95-127) kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang berkonflik dapat dibedakan ketika konflik sedang berlangsung dan setelah terjadi konflik, yaitu sebagai berikut:

1. Kekuasaan Dalam Situasi Konflik
Kekuasaan dapat diberikan dan diambil dari satu pihak ke pihak lainnya dalam konflik. Pergerakan kekuasaan dalam konflik harusnya mengalir, berubah-berubah dan bergantung pada situasi yang diinginkan. Isu mengenai kekuasaan menjadi destruktif apabila minimal salah satu pihak yang terlibat konflik mulai memikirkan dan membicarakan mengenai kekuasaan. Ketika kekuasaan menjadi fokus utama dari pemikiran ataupun diskusi, pihak-pihak yang bersangkutan akan terjebak ke dalam perebutan kekuasaan dan sangat mungkin akan kehilangan arah mengenai tujuan dan solusi yang ingin dicapai.

Ditambah lagi, biasanya dalam situasi konflik, setiap pihak yang terlibat cenderung mempercayai bahwa pihak lainnya memiliki kekuasaan lebih dari yang ia miliki, sehingga hal ini mendorong usaha yang lebih keras untuk merebut kekuasaan dan hasilnya adalah meningkatnya intensitas konflik. Kekuasaan didasarkan pada ketergantungan satu pihak terhadap hal-hal (currencies) yang dikontrol atau seolah-olah dimiliki oleh orang lain. Ketergantungan adalah fungsi dari pentingnya tujuan yang dapat dipengaruhi pihak lain dan ketersediaan cara lain untuk mencapainya. Setiap orang memiliki sesuatu yang berpotensi untuk dapat digunakan untuk menyeimbangkan atau mendapatkan kekuasaan dalam sebuah hubungan.
Adapun pihak yang lebih memegang kekuasaan pada saat konflik berlangsung dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
1. Siapa yang memiliki hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan (currencies) yang lebih berharga bagi pihak lain dalam jumlah yang lebih banyak.
2. Siapa yang berbicara lebih banyak, siapa yang menginterupsi lebih banyak, siapa yang menentukan arah pembicaraan.
3. Perilaku pasif-agresif; mengucapkan kata yang menyakitkan kemudian meminta maaf, mengatakan tidak ada masalah tapi melakukan perbuatan nonverbal yang menunjukkan kemarahan, menjadi bingung, bercucuran air mata, sarkastik atau tidak berdaya ketika topik tertentu muncul, menciptakan situasi dimana pihak lain akan merasa tidak nyaman.

2. Kekuasaan Paska Situasi Konflik
Pihak yang merasa tidak memiliki kekuasaan biasanya adalah secara terus-menerus menjadi subjek dari perilaku direndahkan atau orang yang mengalami kegagalan dalam pencapaian yang dimiliki. Orang yang merasa tidak memiliki kekuasaan dapar berujung pada dua hal, kekerasan atau keputusasaan. Bila pihak yang tidak berkuasa sudah sampai pada tahap ‘tidak ada lagi hal yang diperdulikan’, mereka bisa berubah menjadi agresif karena menilai tujuan mereka tidak dapat lagi dicapai dengan jalan yang baik.

Sedangkan di sisi lain bisa jadi seseorang sering berada dalam posisi tidak berkuasa akan merasa putus asa dan menyerah atau lebih buruk lagi dapat melakukan tindakan yang destruktif pada dirinya (secara psikologis maupun fisik). Masing-masing pihak biasanya mempersepsikan dirinya memiliki kekuasaan yang kurang dan pihak lain lebih berkuasa.
Apabila konflik berlangsung berulang-ulang, hal yang sangat mungkin terjadi adalah kedua pihak akan merasa tidak memiliki kekuasaan dan berupaya meningkatkan kekuasaan terhadap pihak lain. Dengan cara inilah konflik yang destruktif muncul dan memiliki intensitas yang semakin meningkat dan pada akhirnya menghancurkan suatu hubungan serta pihak yang terlibat.

Gaya Konflik
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan gaya konflik seseorang. Pertama, gaya konflik selalu dipengaruhi oleh pihak lain, terutama ketika berupaya kooperatif. Kedua, gaya dapat berubah seiring dengan perkembangan dalam interaksi konflik. Ketiga, gaya tidak didasari oleh sikap kepribadian yang stabil, sehingga dapat berubah atau mungikin digunakan akibat tuntutan eksternal bukan dorongan internal pemilik gaya. Seperti halnya tujuan konflik, gaya konflik juga memiliki sifat dinamis.

Menurut Wilmot dan Hocker (2001: 129-177) ada lima gaya konflik, yaitu:

1. Avoidance
Avoidance atau menghindar biasanya ditandai oleh penyangkalan, usaha berdalih, mengganti topik pembicaraan, tidak menyatakan pendapat, atau bercanda daripada berhadapan dengan konflik yang sedang terjadi.
2. Kompetisi
Gaya kompetisi memiliki karakteristik perilaku agresif dan nonkooperatif, mendapatkan kepentingan sendiri dengan merugikan orang lain. Meskipun demikian, sebenarnya gaya kompetisi dapat dilakukan dengan tidak merugikan orang lain.
3. Kompromi
Kompromi adalah usaha untuk mengambil jalan tengah bagi kedua belah pihak, dimana tiap pihak akan mencapai dan kehilangan sesuatu. Ketika berkompromi seseorang akan merelakan beberapa kepentingannya agar orang lain dapat mencapai keinginannya.
Kompromi bergantung pada kekuasaan yang terbagi, karena apabila pihak lain dipersepsikan tidak memiliki kekuasaan sama sekali, tidak ada alasan untuk berkompromi.
4. Akomodasi
Seseorang yang menganut gaya akomodasi, tidak mengupayakan kepentingan dirinya dan memilih pendekatan yang kooperatif dan mementingkan keharmonisan. Seseorang mengesampingkan kepentingannya dengan tujuan utama menyenangkan pihak lain.
5. Kolaborasi
Kolaborasi adalah gaya dimana seseorang memberikan perhatian yang timggi kepada dirinya dan juga orang lain, sehingga dalam kolaborasi, pihak yang terlibat dituntut untuk menghasilkan solusik terbaik yang dapat memaksimalkan upaya pencapaian semua kepentingan pihak yang terlibat, sehingga kualitas hubungan antara pihak dapat meningkat.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa gaya dalam berkonflik adalah respon terpola atau kumpulan perilaku yang digunakan oleh seseorang dalam menghadapi konflik. Ketika seseorang menggunakan suatu taktik tertentu berulang kali maka itu menjadi gaya dalam konflik.

Setiap orang memiliki kecenderungan gaya konflik. Kecenderungan tersebut dipengaruhi secara kompleks melalui genetik (misalnya temperamen), pengalaman hidup, latar belakang keluarga dan filosofi personal.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa gaya yang dipilih oleh seseorang ketika ia berkonflik tidak dengan serta-merta ditentukan, gaya yang dipilih merupakan hasil dari kompleksitas kehidupan si orang tersebut. Nah Lo

Gimana? Udah mulai ngeh apa itu konflik? Pengen tahu bagaimana strategi menghadapi konflik? Baca tulisan saya selanjutnya, konflik (bagian dua)

Sumber: Wilmot, William W., Hocker, Joyce L. 2001. Interpersonal Conflict 7th Edition. Boston: Mc Graw Hill
Buku ini bisa diperoleh di Amazon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar