“Simplicity,
patience, compassion.
These three are your greatest treasures.
Simple in actions and thoughts, you return to the source of being.
Patient with both friends and enemies, you accord with the way things are.
Compassionate toward yourself, you reconcile all beings in the world.”
These three are your greatest treasures.
Simple in actions and thoughts, you return to the source of being.
Patient with both friends and enemies, you accord with the way things are.
Compassionate toward yourself, you reconcile all beings in the world.”
― Lao Tzu, Tao Te Ching
Saya tidak memiliki satupun. Simplicity, patience,
compassion. Saya hampir yakin tentang hal itu. Tapi bukan berarti Saya tidak
belajar apapun.
Tahun-tahun
belakangan ini, banyak hal yang Saya pelajari. Sudah seharusnya. Kalau tidak
belajar sesuatu sama sekali pastilah Saya manusia paling bodoh di bumi ini.
Karena tumplek–blek (tumplek blek itu kurang lebih artinya
adalah tumpah–ruah) itulah terkadang rasanya capek sekali. Bahkan mengobrolpun
rasanya terlalu menguras tenaga.
Saya berbincang panjang lebar
dengan sahabat tercinta, Rica Safitrie, tentang perubahan. Berbincang panjang
lebar seperti di masa lalu, ngobrol bego istilah kami, ngobrol sampe bego.
Sampai bego tidak tahu harus ngobrol apa lagi, sampai saling mem-bego-bego-kan
satu sama lain, sampai menertawakan diri sendiri karena menyadari ke-bego-an
terbaru yang telah dilakukan, dan seterusnya. Itulah ngobrol bego. Aktivitas
kami setiap hari, kecuali Rica pulang ke priok atau Saya pergi ke luar kota, sewaktu
masih kuliah dulu.
Selain ngobrol bego, aktivitas
favorit kami yang lain adalah: jalan kaki malem di margonda dengan rute
kos-detos PP, duduk santai melihat hujan di kampus, muter lagu-lagu MUSE &
Letto, dan dengerin penyiar radio. Semua aktivitas itu kami lakukan dengan
serius. Tapi tentu saja dunia kami tidak hanya itu. Entah bagaimana caranya,
semua aktivitas kami terselenggara dengan lancar. Selain kuliah, Rica sibuk di
BEM dan rohis (kampus & fakultas). Sementara Saya bekerja paruh waktu, ikut
kelompok studi, dan rohis fakultas (beda divisi dengan Rica). Terkadang Saya ke
luar kota untuk bekerja atau penelitian. Aktivitas, minat, cara berpikir, dan
pembawaan kami berbeda. Sangat jauh berbeda.
Ritual kami yang lain adalah
mematikan dan menyalakan lampu. Saya suka tidur tanpa lampu, Rica sebaliknya.
Karena itu Saya selalu menunggu Rica tertidur baru kemudian mematikan lampu.
Setelah beberapa waktu,mungkin Rica sadar bahwa lampunya mati, lampu dinyalakan
kembali. Merasa silau dengan sinar lampu, Saya kemudian bangun untuk
mematikannya lagi. Begitu seterusnya, sampai kami berdua bangun untuk sholat
subuh. Baik Saya atau Rica tidak pernah mengeluh tentang hal ini. Mungkin kami
bertenggang-rasa tapi mungkin juga sama-sama keras kepala, hahaha.
Kehidupan
sekarang rasanya tidak terlalu berisik. Dulu, sewaktu masih kuliah, keriuhan
sehari–hari biasanya Saya tebus di hari sabtu. Hari sabtu adalah hari
perpustakaan se-dunia. 9am hingga 3pm Saya habiskan hanya untuk duduk dan
membaca. Di perpustakaan ada kamar mandi bersih dan mushola yang cukup nyaman.
Ditambah sebotol kecil air putih dan dua tangkup roti, maka lengkap sudah bekal
di hari sabtu. Jangan pikir 9 am – 3 pm itu lama, sangat singkat. Rasanya
seperti nonton film detektif lalu mati lampu tepat saat si detektif hendak
bertemu penjahatnya, tidak tuntas.
Sepulang
dari perpustakaan, Saya bersantai–santai. Bersantai–santai adalah berguling ke
kanan dan ke kiri di atas kasur, menyanyi, membaca, ngemil, nonton film,
semuanya di atas kasur. Menurut Rica, aktivitas seperti itu lebih tepat disebut
bermalas-malasan. Tentu saja Saya tidak sepakat. :D
Saya
tidak lagi bersantai–santai seperti itu.
Kembali tentang ngobrol bego,
Saya curhat tentang pilihan warna yang tiba–tiba berubah. Hal ini baru Saya
sadari setelah beberapa waktu. Tiba-tiba saja warna mukena Saya hijau.
Tiba–tiba saja warna piring–piring Saya hijau. Tiba–tiba saja warna blender
Saya hijau. Tiba–tiba saja warna mug Saya hijau demikian juga dengan cangkir
kopi Saya. Tiba–tiba saja warna sprei Saya hijau. Tiba–tiba Saya dikelilingi
warna hijau. Tiba–tiba hidup Saya jadi hijau. #lebay
Bahkan Saya menyesali kenapa
merk kulkas pilihan Saya tidak mengeluarkan seri warna hijau seperti merk
saingannya. Hal ini sangat menganggu setiap harus ke dapur dan berhadapan
dengan kulkas. Aneh? Yang lebih aneh lagi, Saya tidak suka warna hijau. Rica
yang tergila-gila dengan warna hijau.
Sampai bulan lalu, Saya
mendapat hadiah piring berbentuk daun dan berwarna hijau. Pemberi hadiah
beralasan bahwa dia memilih piring itu karena Saya suka warna hijau dan suka
cemilan. Saya suka warna hijau? Sekilas, saya sempat berpikir mungkin Saya
kangen dengan nuansa hijau ala Rica. Dulu kami sekamar selama bertahun–tahun,
jadi kemungkinan itu masuk akal. Atau secara tidak sadar, Saya ikut suka warna
hijau seperti Rica. Kemungkinan itu juga masuk akal mengingat kebersamaan kami tidak sebentar. Tapi bukan
sekedar warna hijau yang membuat Saya bertanya–tanya. Bahkan cara berpikir dan
bersikap Saya berubah. Beradaptasi dan menyerap semua hal, seperti Rica.
Tapi Saya masih tukang
perintah, masih kepala batu, masih hobi jadi anonim, masih jadi diri Saya
sendiri. Karakter Saya seperti film yang diputar cepat dan Rica adalah film
yang diputar lambat. Bayangkan dinamika kehidupan pertemanan kami. Jangan kira
kami tidak pernah berantem. Berantem itu makanan sehari–hari. Jangan kira kami
tidak putus asa dengan kondisi tidak terpisahkan itu. Kami terhubung satu sama
lain dengan cara yang tidak bisa dijelaskan. Pada saat tertentu, kami bahkan
tidak perlu berbicara satu sama lain untuk mengetahui apa yang dipikirkan oleh
satu sama lain. Kura-kura yang lamban bersahabat dengan bebek yang bawel.
Herannya, kura-kura tetap lamban tanpa berusaha mengimbangi kecepatan bebek.
Sementara bebek juga tetap bawel tanpa memperdulikan apakah ia didengarkan atau
tidak. Benar-benar pasangan yang aneh, hahaha.
Dulu
kami berikrar, ketika masih anak baru di UI, “Kita pacaran harus bareng ya, semester
4 baru boleh pacaran. Kalau salah satu belum dapet pacar, yang lain harus
nyariin.”
Perjanjian
yang konyol. Yang terjadi adalah: kami tidak pernah pacaran selama kuliah,
terlalu asyik dengan diri sendiri dan pertemanan kami yang aneh :D
Kami
punya banyak perjanjian, tapi tidak satupun ditaati. Karena bagi Saya (dan
mungkin juga Rica), perjanjian tidak penting yang penting itu niatnya, hahaha.
Ini foto kami waktu masih berkuliah. Foto ini diambil suatu pagi di jembatan teksas (teknik-sastra) UI, Arief yang memotret. Sahabat Saya yang lain, sahabat Saya dan Rica. Biasanya seperti itu, kami jalan-jalan bertiga dan peran masing-masing selalu sama. Rica dan Saya berpose, Arief yang memotret. Tidak pernah berlaku sebaliknya, hehehe. Mungkin itu sebabnya Saya tidak punya foto Arief. Rica, Arief, dan Saya terhubung satu sama lain juga dengan cara yang aneh. Ini tidak lebay, ini serius. Kami berteman dari hari pertama penerimaan mahasiswa baru di UI. Arief ketua angkatan yang selalu memakai topi berwarna gonjreng yang mencolok bahkan dari kejauhan, karena itu Rica dan Saya tidak pernah salah mengenali barisan mana yang harus kami masuki kalau datang terlambat ke balairung, hehehe. Satu hal yang Saya pelajari dari pertemanan dengan Rica dan Arief, penerimaan yang tulus dan tanpa syarat. Ternyata hal itu bisa dilakukan dengan mudah. Bisa mengenal mereka berdua adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi di kehidupan Saya.
Sudah lama sekali Saya tidak bertemu dengan Rica, seperti biasa, kami selalu sibuk dengan diri sendiri, hahaha. Tapi masih seperti dulu, tidak perlu menjelaskan segala hal untuk membuat kami saling mengerti apa yang terjadi dengan satu sama lain. Tidak perlu hang out minum kopi dan menghabiskan banyak waktu untuk bertukar kabar. Karena rasanya Rica masih dekat, ada di sini dan sibuk meledek semua hal yang Saya lakukan. Pernak-pernik lain dalam pertemanan rasanya sudah tidak kami perlukan lagi. Mungkin orang lain berpikir pertemanan kami mati gaya, tapi Saya tidak peduli. Saya menghormati dan menyayangi apapun yang melekat sebagai Rica. Sampai kapanpun Saya masih punya Rica, dan begitu juga sebaliknya.
Sudah lama sekali Saya tidak bertemu dengan Rica, seperti biasa, kami selalu sibuk dengan diri sendiri, hahaha. Tapi masih seperti dulu, tidak perlu menjelaskan segala hal untuk membuat kami saling mengerti apa yang terjadi dengan satu sama lain. Tidak perlu hang out minum kopi dan menghabiskan banyak waktu untuk bertukar kabar. Karena rasanya Rica masih dekat, ada di sini dan sibuk meledek semua hal yang Saya lakukan. Pernak-pernik lain dalam pertemanan rasanya sudah tidak kami perlukan lagi. Mungkin orang lain berpikir pertemanan kami mati gaya, tapi Saya tidak peduli. Saya menghormati dan menyayangi apapun yang melekat sebagai Rica. Sampai kapanpun Saya masih punya Rica, dan begitu juga sebaliknya.
Percaya atau tidak, kami liburan ke Lombok di waktu yang bersamaan! Rica liburan sambil menemani suaminya bekerja. Saya liburan sambil bekerja. Kami tidak bertemu, karena memang tidak saling tahu rencana liburan yang sama-sama nebeng kerjaan itu.
Saya sampai menahan nafas ketika ngobrol dengan Rica via sms. Saya hanya bilang baru pulang dari Lombok tanpa memberi tahu waktu tepatnya dan Rica akan tahu setelah membaca tulisan ini. Tapi pasti dia tidak akan kaget, hal seperti ini sudah sering terjadi (ralat: sangat sering terjadi) di dalam kehidupan pertemanan kami. Sebelum Saya sms, Rica bahkan sudah mimpiin Saya.
Sejak kuliah dulu kami jarang berkomunikasi via HP untuk janjian ketemu. Hanya perlu bicara di dalam hati saja, lalu tiba-tiba kami bertemu di suatu tempat yang tidak pernah terpikirkan: di dalam bis kuning, di tempat wudlu masjid UI, di salah satu rak perpustakaan fakultas sebelah, di kantin fakultas sebelah (padahal sengaja makan siang di fakultas lain karena tidak ingin kebetulan ketemu, hiks). Hal ini sangat menyulitkan ketika kami sedang berantem atau sedang sebal satu sama lain, mau tidak mau jadi baikan, hehehe. Kadang kami bosan, tapi mau bagaimana lagi, mungkin sudah takdir. :D
Saya pernah menulis tentang pertemanan di blog ini. Teman adalah satu janji dalam hati, sedetik di mata maka selamanya di jiwa. Menemani kita bahkan tanpa kita sadari keberadaannya. Ah, tapi Saya tidak tahu apa-apa tentang pertemanan meski menerima banyak hal dari pertemanan. Sepertinya tidak adil, karena rasanya hampir tidak ada yang Saya lakukan sebagai seorang teman. Menyadari bahwa Saya bukan orang yang tepat untuk berteman, Saya pikir bahkan seorang teman saja sudah terlalu banyak untuk Saya. Satu saja sudah lebih dari cukup. Meski demikian, Allah memang selalu murah hati, tidak selalu memberi apa yang kita pinta tapi selalu memberi yang kita butuhkan. Meski tidak seramai pertemanan orang lain, banyak hal baik terjadi. Bahkan Saya tidak berani meminta yang lebih lagi.
Saat ini Rica sudah menikah dan hidup bahagia bersama dengan laki–laki pilihannya. Saya turut berbahagia dengan semua hal yang telah Rica capai. Rica benar-benar mendapatkan semua yang ia inginkan. Hingga detail-detailnya. Bahkan menginginkan hal yang sederhanapun membutuhkan keberanian. Sayangnya, nyali Saya tidak sebesar nyali Rica.
Jika Saya masih belajar memiliki simplicity, patience, compassion; maka bagi Rica itu semua tidak penting. Menurut Rica menjalani hidup adalah tentang menjalani, jadi hanya perlu dijalani saja. Saya masih belum mengerti logika itu sampai sekarang. Terlalu rumit.
Sometimes you don't need a goal in life, you don't need to know the big picture.
You just need to know what you're going to do next!
― Sophie Kinsella, The Undomestic Goddes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar